Cerita Rumah Putih

Disusun oleh Drs. H. Sofyan Siambaton

"Keturunan Sutan Syahi Alam Pohan Raja Barus sejak 20 tahun yang lalu terus menggagas dibangunnya kembali Rumah Putih."

"Sampai hari ini mungkin keturunan Rumah Putih bisa mencapai ± 5.000 orang"

"Dahulu di kampung ini rakyat hidup sejahtera. Hasil bumi seperti kapur barus, kemenyan, damar, cengkeh, kopi, karet, kopra, diekspor ke Belanda."

Rumah Putih adalah istana Raja Barus, Tuanku Sutan Syahi Alam Pohan, yang menjadi Raja Barus sejak tahun 1891 sampai dengan 1925. Disebut Rumah Putih karena seluruh cat rumah berwarna putih. Sudah banyak cerita tentang Rumah Putih. Namun cerita Rumah Putih tiada habisnya.

Penulis yang lahir 1 Januari tahun 1943 sempat menyaksikan kebesaran Rumah Putih. Bangunan Rumah Putih sangat megah dan berwibawa. Luas bangunannya ± 16 m × 18 m. Di tengah rumah ada empat tiang utama untuk penyangga loteng dan bubungan. Dapurnya seluas ± 5 m × 10 m, terpisah dari rumah induk, dihubungkan oleh jembatan pakai kanopi sepanjang ± 6 m dan lebar 2 m. Antara rumah induk dan dapur, ada sumur dan kamar mandi. Rumah induk dan dapur menggunakan atap rumbia yang tersusun rapi dan tebal.

Rumah Putih modelnya rumah panggung. Tiang fondasi setengah beton, setengah kayu bulat. Tinggi lantai bangunan dari tanah ± 1,5 m. Dahulu kami, anak-anak, bisa bermain, berlari di kolong Rumah Putih. Di bagian dalam Rumah Putih ada enam kamar tidur besar, tiga di bagian kiri dan tiga di bagian kanan. Di tengah ada ruang (hall) seluas ± 6 m × 15 m.

Di bagian depan rumah ada beranda sepanjang kira-kira 3 m × 16 m. Kalau kita naik Rumah Putih dari depan, kita melalui tangga beton. Tangga di bawah melebar ± 5 m, di atas mengecil ± 3m, modelnya trompet. Anak tangga bermotif bunga-bunga. Kiri kanan tangga dipagar beton. Ketika kita naik tangga setinggi ±1,5 M kita mula-mula berada di teras, kemudian ke beranda, lalu masuk rumah.

Tiang-tiang rumah terbuat dari balok kayu yang besar-besar. Dinding dan lantai rumah berupa papan tebal. Balok dinding dan lantai merupakan jenis kayu kapur yang banyak tumbuh di Barus. Pintu dan jendela tinggi-tinggi dan besar-besar, juga memakai kayu kapur. Jendela dan pintu ada yang menggunakan kaca dan ada pula yang memakai kisi-kisi lubang angin. Semua jendela dipasang terali kayu kapur.

Lingkungan Rumah Yang Asri

Rumah Putih suasananya hijau asri. Di halaman rumah yang luas ada lapangan rumput. Jarak tangga depan Rumah Putih ke jalan raya ± 20 m. Di kiri kanan halaman ada terpasang dua meriam kuno Belanda. Kami anak-anak sering bermain di meriam ini.

Di depan Rumah Putih sebelah kiri ada pohon jambu air putih yang buahnya besar-besar dan manis-manis. Di dekatnya ada pohon jambu bol buahnya juga manis, lembut dan besar-besar warnanya merah. Di sebelah kanan depan ada pohon rambutan binjai yang manis dan lokang. Di sekeliling lapangan banyak pohon kuwini yang buahnya manis. Jika sedang musim berbuah, banyak buah yang masak berjatuhan ditiup angin.

Suasana hijau juga terlihat di halaman belakang Rumah Putih. Banyak ditanam pohon durian, langsat, manggis, dan pisang. Suasana lingkungan terkesan asri dan sejuk. Menurut cerita Ayah H. M. Saleh Siambaton, dahulu di kampung ini rakyat hidup sejahtera. Hasil bumi seperti kapur barus, kemenyan, damar, cengkeh, kopi, karet, kopra, diekspor ke Belanda. Kapal KPM secara reguler datang ke Pelabuhan Barus. Raja Barus sangat di hormati rakyatnya. Raja sering turun ke sawah memeriksa tali air. Produksi beras berlimpah. Rakyat menyapanya dengan Tuanku Raja Barus, Sutan Syahi Alam Pohan. Bahkan ketika sudah pensiun pun beliau tetap dihormati dan disebut sebagai Tuanku Pensiun.

Rumah di Kiri Kanan Rumah Putih

Pada tahun 1932 di samping kanan Rumah Putih dibangun rumah ibunda kami, Hj. Siti Fatimah Pohan yang lahir tahun 1910 dan meninggal tahun 2004, sedangkan di samping kiri Rumah Putih tahun 1925 sudah berdiri rumah Sutan Makruf Pohan, anak raja nomor 3 dari istri pertama Munyang Upik. Sorkam. Menurut cerita ibunda, rumah kami dibangun oleh Angku kami, H. Muhammad Siambaton, kami panggil Tappu, sebagai hadiah perkawinan ibunda kami dengan anaknya Tappu, ayah kami, yang seorang guru, H. M. Saleh Siambaton, yang lahir tahun 1908 dan meninggal tahun 1980. Raja Barus menyiapkan tanah untuk rumah kami. Menurut cerita ibunda, raja memberi tanah karena ibunda adalah salah satu cucu kesayangan Raja dan agar ibunda tidak pergi jauh dari Rumah Putih. Rumah kami untuk ukuran di Barus Mudik lumayan besar, luasnya ± 8 m × 20 m. Ibunda kami dinikahkan raja di Rumah Putih tahun 1931.

Angku kami, Tappu, mengawinkan tiga anaknya dengan keluarga Raja Barus. Pertama, anak tertuanya, Siti Barus Siambaton, dikawinkan dengan Sutan Makruf Pohan yang kelak menjadi penerus Raja Barus. Cucu mereka a.l., antara lain? Sukran Tanjung, mantan Bupati Tapteng. Yang kedua, anak Tappu nomor 5, M. Ilyas Siambaton, dikawinkan dengan Siti Asmah, cucu raja dari Siti Janintan Pohan, anak ke-8 raja. Cucu mereka a.l., antara lain: Deddy Bustami Ilyas, Ketua Umum KKB-SSAP. Yang ketiga, anak Tappu nomor 6, H. M. Saleh Siambaton dikawinkan dengan Hj. Siti Fatimah Pohan, yang menjadi ayah dan ibu kami. Cucu mereka a.l., antara lain? anak kami Jimmy Siambaton, MBA, Sekretaris Umum KKB-SSAP.

Angku kami, Tappu, bisa mengawinkan anak-anaknya dengan keluarga Raja karena status sosialnya. Tappu itu imam Mesjid Besar di Barus Mudik. Tappu itu saudagar, berdagang sampai ke Penang. Tappu adalah orang pertama di Barus Mudik yang berangkat haji ke Mekkah. Rumah Tappu berseberangan dengan Rumah Putih. Rumah Tappu bertingkat sehingga orang menyebutnya Rumah Tenggi. Cerita ayah kami, raja dan Tappu sering mengobrol di Rumah Putih.

Menurut cerita Tappu kepada ayahanda, H.M.Saleh Siambaton, Sutan Syahi Alam Pohan itu diangkat sebagai raja oleh Belanda pada tahun 1891, melalui pemilihan (pilkada). Ketika itu, usianya empat puluh tahun. Ini berarti Raja Barus lahir tahun 1851, pensiun tahun 1925 pada usia 74 tahun, dan meninggal tahun 1936 pada usia 85 tahun

Menurut cerita ibunda setelah raja pensiun, raja memanggil anaknya nomor 7, Sutan Kabonaran Pohan, anak pertama dari istri ke-2 Raja Barus untuk tinggal di Rumah Putih menemani ayahandanya, Sutan Syahi Alam Pohan, dan ibundanya, Siti Sarah Hutagalung, istri raja nomor 2 (kami memanggil Siti Sarah Hutagalung dengan sapaan Munyang). Ketika itu, Sutan Kabonaran diangkat sebagai Penghulu Barus Mudik. Sementara estafet Raja Barus waktu itu sudah diserahkan

kepada Sutan Makruf Pohan. Adapun anak-anak Raja Barus yang lain, yang pria sudah pergi merantau meninggalkan Barus, anak wanita dan cucunya ikut suaminya merantau ke Singkil, Sorkam, Sibolga, Kuala Tungkal, Jakarta, dll.

Mengungsi dan Bencana Banjir

Setelah Sutan Syahi Alam Pohan meninggal tahun 1936, Rumah Putih ditempati oleh Munyang Siti Sarah Hutagalung, Sutan Kabonaran Pohan, dan keluarganya. Namun, pada tahun 1946 Sutan Kabonaran Pohan meninggal dunia. Rumah Putih hanya ditempati oleh istrinya, Ucci Rawi, dan anak-anaknya untuk menemani dan merawat Munyang Siti Sarah Hutagalung yang sudah tua. Suasana negeri waktu itu sedang berkecamuk Revolusi Kemerdekaan. Akibat agresi Belanda II awal tahun 1949, orang di kampung pergi mengungsi. Rumah Putih pun ditinggal kosong. Munyang yang sudah tua dan sakit-sakitan ikut diboyong mengungsi. Munyang didudukkan di kursi dipikul empat orang. Suasana ketika itu sangat mencekam. Dalam perjalanan pengungsian mulai dari Kampung Mudik ke Labu Tuo dan terus ke Simpang Maruhur, kesehatan Munyang semakin menurun. Dalam suasana yang sangat memilukan, akhirnya Munyang meninggal dunia dan dimakamkan di Labu Tuo. Inalilahi wainailaihi rojiun.

Pada April tahun 1949 tercapai gencatan senjata antara Belanda dan Republik. Rakyat kembali dari pengungsian ke rumah masing-masing. Akhir tahun 1949 Rumah Putih ditempati oleh keluarga Ustad Salikin Pohan. Namun, tak lama kemudian tahun 1953 Ustad Salikin Pohan dan keluarga pindah berangkat ke Jakarta. Rumah Putih ditinggal kosong.

Komplek Rumah Putih ini menurut perkiraan penulis luas tanahnya ± 45 m × 50 m = ± 2.250 m2. Di belakang Rumah Putih berjarak sekitar 250 m ada Sungai Sirahar mengalir dari hulu daerah Pakkat dan bermuara di Kualo Pasar Terendam. Ketika terjadi banjir besar tahun 1953 Desa Barus Mudik menjadi porak poranda berantakan diterjang banjir Sungai Sirahar. Mesjid Raya yang lokasinya di hulu Barus Mudik hanyut. Makam Raja Barus dan putranya menjadi terlalu dekat ke Rumah Putih. Tebing sungai sedikit demi sedikit runtuh. Erosi sungai mengikis Komplek Rumah Putih.

Akhirnya pada tahun 1955 rumah kami dan rumah Sutan Makruf Pohan dibongkar lebih dulu dipindahkan ke Pasar Batu Gerigis, Barus. Kemudian Rumah Putih dibongkar, sisa-sisa bahan bangunannya diangkut dan dijadikan sebuah rumah di Palak, menjadi rumah kecil, berdiri di samping kanan rumah Angku Sutan Abdul Rauf Pohan, anak Raja Barus nomor 9, sedangkan meriam kuno dipasang di depan rumah Angku Sutan Abdul Rauf Pohan.

Membangun Kembali Rumah Putih

Drs. H. Tabrani Harahap penyusun buku “Sutan Syahi Alam Pohan Raja Barus (1891-1925) dan keturunannya, “sejak 20 tahun yang lalu terus menggagas dibangunnya kembali Rumah Putih. Drs. H. Tabrani Harahap Cucu Angku Sutan Abdul Rauf Pohan. Beliau teman penulis. Kakaknya, Kartini, teman sekelas penulis di SMP Negeri Barus. Sungai Sirahar sekarang sudah mengecil dan kembali menjauh dari lokasi Rumah Putih. Untuk membangun kembali Rumah Putih perlu dilakukan beberapa tahap:

Tahap I: Perlu dilakukan pembebasan lahan kompleks Istana tersebut seluas ± 2.250 m2. Tanah Raja Barus ini sekarang sebagian besar sudah diduduki masyarakat dan di atasnya sudah berdiri bangunan.

Tahap II: Dibuat gambar (replika) Istana Raja Barus oleh konsultan yang berpengalaman. Bangunan rumah kami dan rumah Sutan Makruf Pohan tidak perlu lagi dibangun, sehingga di atas tanah ± 2.250 m2 itu nantinya hanya berdiri bangunan Istana Raja Barus.

Tahap III: Menghimpun Dana Pembangunan. Menurut hemat penulis untuk membangun kembali Istana Raja Barus diperlukan dana sebesar ±Rp2 miliar.

Membangun kembali Rumah Putih adalah sebuah impian, tantangan, dan harapan bagi keturunan Raja Barus Sutan Syahi Alam Pohan. Pengurus KKB-SSAP nantinya perlu melakukan kajian dan survei lokasi.

Menurut Buku Tabrani Harahap, dari Rumah Putih ini sampai dengan 25 Agustus 2010 telah lahir keturunan sebanyak 4.052 orang. Menurut hemat penulis kalau didata ulang sampai hari ini mungkin keturunan Rumah Putih bisa mencapai ± 5.000 orang.

Sesungguhnya Rumah Putih itu sangat historis. Dahulu begitu terkenalnya sehingga walaupun Rumah Putih sudah tidak ada, orang di Barus tetap menyebut keturunan Tuanku Raja Barus Sutan Syahi Alam Pohan adalah keturunan Rumah Putih.

Jakarta, 11 Desember 2016
Drs. H. Sofyan Siambaton